LUKA
Aku tersentak dari tidurku "Mama" Rintihku di sela tangis yang
berhasil mencuat keluar dari tenggorokanku. Trauma itu, ya trauma itu bahkan
menghantui sampai ke mimpiku yang membuatku mau tak mau merasakan sesak di hati
kecilku. Kenangan masa kecil berputar seperti Film di dalam memori ingatanku. Saat
itu, aku hanyalah seorang remaja 15 tahun yang harus menelan pahitnya kehidupan
Broken Home. Papa mama memutuskan untuk bercerai setelah hampir setiap hari
mereka bertengkar dan hak asuhku di genggaman mama. Sejak saat itu, perlakuan
mama padaku sangat buruk. mama selalu menyalahkan semua kesalahan kepadaku,
mama selalu mencaci maki papa kepadaku. Sedangkan aku hanya diam mendengarkan
mama tanpa berani menyelanya sampai mama berhenti dan menyuruhku pergi dari
hadapannya. Karna kata mama, wajahku mengingatkan mama pada papa yang sangat di benci nya
Hari itu hari ulang tahunku yang ke-16, aku mengharapkan hadiah ulang tahun dari orang tuaku, aku mengharapkan hari itu adalah hari bahagia yang sudah lama tak kurasakan lagi. Sepulang sekolah aku mengganti pakaian dengan riang membayangkan kejutan apa yang akan ku dapatkan hari ini. Beberapa lembar kertas di atas meja menarik perhatianku. Aku membaca keterangan kata demi kata ketikan komputer di atas kertas itu. "Sewaan gedung serbaguna" dan beberapa lembar surat undangan "Riana & Zean" aku tersenyum miris, trnyata inilah kejutan yangdi berikan mama di hari ulang tahunku kali ini.
Mama bahkan tidak mengundangku ikut serta di pernikahannya dengan selingkuhannya ketika masih bersama papa dulu. Aku menangis sesenggukan menyesali telah hancurnya keluargaku yang bahagia dulu, aku selalu bertanya "kenapa?" di setiap inci permasalahan keluarga ini, "kenapa?" mama bertemu dengan laki-laki itu, "kenapa?, kenapa?, dan kenapa?".
Sejak saat itu, aku di paksa mama mematuhi papa tiriku dan menjadi anak baik untuk mereka. Mama tidak pernah peduli lagi terhadapku. Mama tidak lagi memanggil "Kevin, makanan udah siap ntar dingin" di setiap waktu makan, mama tidak lagi menanyakan "bagaimana harimu di sekolah" setiap aku pulang sekolah.
Aku sudah kehilangan sosok ibu dalam diri mama. Mama yang selalu menjadi tempatku biasa bermanja kini sudah asyik dengan dunia barunya. Aku? tidak di hiraukan lagi, bahkan aku di anggap tidak ada oleh mereka.
Malam itu, aku memutuskan untuk memasak Mie instan di dapur karna rasa lapar menghampiri. Ketika aku membuka bumbu Mie instan menggunakan pisau, tanpa sengaja, jariku tersayat dan mengeluarkan darah segar. Aku menikmati rasa perih di jariku dan ingatan di mana papa mama panik mencari P3K ketika jariku tersayat pisau saat sedang mengupas Apel. Tanpa kusadari, darah menetes lebih banyak dari jariku. Aku menuju wastafel mencuci tanganku dan mengobati lukaku dengan P3K. Setelah itu, aku melanjutkan kegiatanku memasak Mie instan yang mengingatkanku kepada papa yang suka sekali dengan Mie instan pedas.
Hari ini, mama kembali menggores
hatiku dengan kata-katanya yang menusuk hati kecilku. Aku kembali merenungi
diriku di dalam fikiranku yang semakin menggelap. Menjadi trauma terbesar dalam hidupku seperti
monster yang siap melahapku kapan saja. Aku telah memasuki kegelapan itu, kegelapan yang
datang ketika manusia tidak lagi mencintai sosok dirinya sendiri.
Ku
pandangi bekas luka sayatan pisau beberapa hari yang lalu dan aku mencoba
mengingat rasa perihnya kala itu. Ku gerakkan jemariku di tangan yang lain
untuk membuka plester yang menutupi lukaku. Luka itu sudah mengering namun
belum sepenuhnya. Aku tergerak untuk mengupas sel kulit mati luka yang
sepenuhnya belum kering itu, darah segar kembali kembali mengalir dari salah
satu jariku. Aku menikmati rasa perih yang datang, dan kembali mengulang
ingatan lama ketika papa mama panik mencari P3K. Sekarang, mama bahkan tidak
melirikku, menganggapku tidak ada dan sibuk dengan dunia barunya. Aku mencuci
tanganku di wastafel. Kali ini, aku tidak membalutnya dengan plester lagi.
Hari-hari
berlanjut, dan setiap kali trauma itu muncul, aku kembali memasuki ruang
kegelapan tanpa ujung yang menyiksa batinku. Aku selalu mengupas luka sayatan
di jariku yang membuat penyembuhannya lebih lama. Aku menganggap luka sayatan
itu sama dengan luka sayatan di hatiku yang ketika aku berusaha
menyembuhkannya, mama kembali mengupas luka di hatiku.
Hari-hari
kulalui dengan menyendiri dan mengupas luka, hingga luka sayatan di jariku
benar-benar sembuh. Entah kenapa rasa ingin melukai diri sendiri itu begitu
kuat di saat trauma itu muncul dan selalu membayangi setiap langkahku dan aku
menumpahkan rasa sakit itu dalam tangisan. Aku kembali mengunjungi kegelapan
itu. Aku telah jatuh sejatuh-jatuhnya di rangkulan sang kegelapan yang siap
menerkam.
Sepulang
sekolah, aku menghabiskan waktu di perpustakaan aku terlarut dengan bacaanku
hingga aku lupa waktu. Aku tersadar dan segera keluar dari bangunan sekolah.
Aku melewati gang yang sempit dan gelap, hanya ada satu dua lampu jalan yang
membantu penglihatan. "Bugh, bugh, bugh" suara itu terdengar jelas di
pendengaranku di sertai teriakan orang yang mengerang kesakitan. Aku berniat
menuju ke sumber suara dan aku mendapati
seorang pemuda paruh baya sedang di pukuli habis-habisan hingga babak belur.
Aku menyaksikan adegan itu tanpa berani terlihat dan langsung melanjutkan
perjalanan pulang ke rumah.
Di
malam berikutnya, Trauma itu kembali menghampiri di waktu yang sangat tidak
tepat membuatku mengunjungi sang kegelapan yang telah menggelapkan hatiku saat
ini. Aku teringat insiden yang ku saksikan kemarin malam "jika aku
merasakan apa yang di rasakan paman kemarin, aku tidak perlu repot-repot
melukai diriku" fikirku di saat rasa ingin meenyakiti diri sendiri terasa
begitu kuat hingga aku tidak bisa menahannya. Ku ambil Hoodie berwarna hitam
yang ku sangkut di sangkutan pakaian, ku kenakan Hoodie itu dan menyembunyikan
wajahku di balik topi Hoodie. Lalu aku pergi menuju gang sempit nan gelap itu.
Aku
mendapati sekelompok laki-laki paruh baya sedang bersenang-senang bersama di
iringi banyak botol minuman keras di sekitar mereka. Aku sempat merasa takut
untuk melanjutkan niatku, tetapi Trauma itu kembali menyiksaku. Tanpa fikir
panjang, aku memungut batu sebesar telapak tangan dan melemparkannya ke arah
para pria paruh baya yang sedang bersenang-senang itu. Lemparanku mengenai
tembok yang tak jauh dari mereka. Mereka sontak langsung menghampiriku
"Apa yang kau lakukan anak Brengsek!" mereka menghardikku karna aku
tidak mau membuka mulut ketika dimintai keterangan oleh mereka. Sehingga,
kesabaran merekapun habis mereka mulai memukuliku habis-habisan secara bergantian.
Aku menikmati setiap rasa perih di sekujur tubuh yang kurasakan. Sakit memang,
akan tetapi aku merasa puas. Setelah puas memukuliku, merekapun meninggalkanku
dengan berbagai sumpah serapahnya. Mereka membiarkanku tergeletak tak berdaya.
Sepeninggal mereka, aku berusaha untuk duduk sambil menikmati keinginanku yang
terwujud. Aku tersenyum karna merasakan kepuasan yang sangat tidak bisa untuk
di jabarkan dengan cara apapun.
Kakiku
melangkah membelah kegelapan malam yang sangat mencekam, meyusuri gang-gang
sempit di daerah tempat tinggalku. Seperti biasa, tidak ada yang menyambutku di
kala aku pulang dari bepergian, tidak ada yang memarahiku karna aku pulang
terlalu larut. Bahkan mama tidak menanyakan keadaanku ketika ia melirik wajahku
penuh lebam. Setelahnya, aku merasa akan mati kelaparan setelah seharian tidak
ada satu makanan pun yang mengganjal perutku. Aku bergegas ke dapur berharap
mendapatkan sesuatu yang bisa mengganjal perut, dan air yang bisa memuaskan
dahaga. Aku tersenyum miris ketika membuka lemari tempat biasa mama menyimpan
makanan, tidak ada secuil makanan pun, yang tertinggal hanya piring kosong. Tak
lama, mama membuat Sandwich, aku sangat senang karna aku fikir "mama buat
Sandwich kesukaanku" sambil terus tersenyum bahagia yang enggan memudar.
"Rian! Ini Sandwich kamu udah jadi" teriakan mama membuat senyumku
seketika sirna. Aku salah paham "Lo berharap apa sih" batinku yang
sangat terluka kali ini. Seperti biasa, aku mengambil bungkusan mie instan yang
ku beli di luar sebelum pulang ke rumah. Aku memasak mie instan dengan luka
hati yang kembali menganga lebar. Sreett... darah menetes dari jari telunjukku
yang tersayat pisau kembali ketika aku sedang membuka bungkusan bumbu mie
instan. Aku tersenyum tipis mengingat luka di jariku adalah ibarat luka di
hatiku yang mulai menyembuh namun tersayat kembali. Aku bergegas mengambil P3K
yang akhir-akhir ini sudah menjadi teman akrabku sehari-hari.
Ku
pandangi langit-langit kamar berwarna putih tulang sambil membayangkan
"Bagaimana nasib masa depanku nanti" aku terus bertanya dalam
benakku. Setelah berfikir panjang, aku fikir tidak ada harapan jika bergantung akan
belas kasih orang tuaku. Akuupun memutuskan untuk mulai bersungguh-sungguh
belajar dan berusaha memperbaiki nilaiku yang akhir-akhir ini menurun akibat
kurang focus nya aku terhadap pelajaran-pelajaran di sekolah.
Berharap
mendapat Beasiswa untuk kuliah, menjadikanku mempunyai tekad untuk rajin
sekolah dan nilaiku perlahan membaik. Hari-hari di sekolah ku lalui dengan
sabar di temani Trauma yang kian hari kian tak tentu waktu datangnya.
Hingga
di mana hari kelulusanku pun tiba. Hari itu adalah hari bahagia dan tersedih
yang di rasakan olehku dan teman-teman. Bahagia karna akhir yang di
tunggu-tunggu selama tiga tahun berbaik hati datang juga, dan sedih karna
sebentar lagi kami akan meninggalkan sekolah dengan banyak kenangan ini. Dan
kami juga bersedih karna kami akan berpisah dengan teman-teman sekolah setelah
melewati suka duka menjadi remaja SMA selama ini.
Acara
hari ini, di buka oleh kata sambutan dari kepala sekolah dan sebagian
jajarannya. Setelah itu, acara pembagian ijazah dan pengumuman mendapat
beasiswa bagi yang beruntung.
"Selamat kepada KEVIN DIRGA ANANTA sebagai siswa lulusan terbaik
dan mendapat beasiswa full kuliah sampai mendapat gelar sarjana di
amerika" tepuk tangan bergemuruh memberikan selamat kepadaku yang sekarang
sudah berada di atas panggung untuk mengambil penghargaan. Aku mencari-cari
keberadaan orang tuaku di antara banyaknya tamu undangan dan para wali yang
anaknya wisuda hari ini. Aku kembali menelan kenyataan pahit, bahkan di hari
kelulusanpun mereka tidak menghiraukanku. Air mataku menetes ketika menuruni
anak tangga turun dari panggung setelah menerima penghargaan dan menyalami guru
sebagai bentuk terima kasih setelah selama ini, mereka membimbingku dan
memberikan ku pelajaran hidup yang berharga. Acara selanjutnya di lanjutkan
menghabiskan waktu bersama orang tua masing-masing, mereka berfoto-foto ria dan
orang tua mereka dengan bagga memosting hari kelulusan anak-anak mereka di
media social yang mereka miliki. Akan tetapi... tidak denganku yang duduk
sendiri di pojokan hanya di temani oleh benda pipih di genggamanku.
Malam
itu, aku merayakan hari kalulusanku dengan pesta kecil yang ku buat sendiri di
kamarku. Aku menghadiahkan pada diriku sendiri sebuah kamera lengkap dengan
peralatannya atas kesabaran serta kegigihanku untuk mendapatkan semua ini dan
melawan Trauma itu sedikit demi sedikit. Aku membeli kamera ini dengan uang
tabungan hasil dari kerja sampingan yang aku lakukan setiap sepulang sekolah.
Awalnya, uang itu akan aku gunakan untuk biaya pendaftaran kuliah, namun
setelah mendapat beasiswa ke amerika, aku tak perlu laggii memusingkan tentang
tempat tinggal di amerika, uang saku, dan biaya kuliah. Karna sudah di tanggung
sepenuhnya oleh Program Beasiswa di Amerika yang aku dapatkan.
Bulan
demi bulan kulalui dengan derita yang tak berkurang setiap harinya, aku di
rumah semakin di perlakukan tidak adil oleh orang tua dan saudara tiriku. Adik
tiriku selalu memfitnahku atas semua kesalahan yang tidak ku perbuat yang
memancing kemarahan orang tua khususnya ayah tiriku yang menyiksaku tak kenal
ampun. Aku hanya bertahan tanpa membantah sambil berfikir "gak lama lagi,
lo akan pergi jauh dari sini Kevin, bersabarlah." Setiap harinya
"Kepada
para penumpang harap bersiap-siap, karna sebentar lagi pesawat Lion Air akan
bersiap lepas landas." Kevin tersentak mendengar pengumuman di bandara
itu. Ia buru-buru menyerahkan kopernya kepada petugas dan bersiap menaiki
pesawat yang akan membawanya ke negri Marvel Film kesukaannya sejak kecil.
"Akhirnya...." batinku dalam hati dan tersenyum dengan senyum yang
enggan memudar.
Komentar
Posting Komentar